SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

TETAPI ketika Wanda Geni itu baru maju selangkah lagi, dan ketika Wanda Geni baru mengulurkan tangannya untuk menarik lengan Ratri yang masih berpegangan kepada kawannya, tiba-tiba udara malam yang dingin itu telah digetarkan oleh suara tertawa. Suara yang lain dari suara Wanda Geni dan ketiga teman-temannya.

“Kau memang benar-benar seorang laki-laki jantan Wanda Geni,” terdengar suara di antara sela-sela tertawanya.
Serentak mereka yang mendengar suara itu berpaling. Mereka melihat bayangan yang kehitam-hitaman di dalam kesuraman malam, bertengger di atas dinding halaman di tepi jalan itu.
Dada Wanda Geni serasa menjadi retak melihat dan mendengar orang itu tertawa. Dengan suara parau ia bertanya, “Siapa kau?”
“Hem, apakah kau perlu mengetahui siapa aku?”
“Sebut namamu. Apakah kau juga orang Kademangan ini?”
“Huh,” orang itu menyahut. “Tidak ada seorang pun dari Kademangan ini yang berani bersikap jantan, He, apakah kau pernah menemui perlawanan sedikitpun di Kademangan ini,” suara orang itu melengking dengan nada yang semakin tinggi.
“Kalau kau kali ini menemui perlawanan, adalah karena kegilaan laki-laki yang bernama Temunggul itu terhadap gadis yang akan kau bawa dan bernama Ratri itu. Apakah kau dapat mengerti? Bukan karena harga diri mereka sebagai pengawal-pengawal Kademangan yang perkasa. Meskpun dua orang anggota mereka yang baru, ternyata dapat membunuh dua ekor harimau, tetapi mereka tidak berani mempertahankan hak mereka, apabila kau datang.”
“Aku tidak ingin mendengar sesorahmu. Sebut siapa namamu dan darimana kau datang?” “Wanda Geni,” berkata bayangan itu. “Aku adalah seorang utusan dari Resi Panji Sekar, tetapi jangan salah, Panji Sekar adalah nama seorang Resi yang sakti yang tinggal di padepokannya di daerah Pliridan, sama sekali bukan nama dapur keris eluk sanga. Meskipun Resi Panji Sekar memiliki sebuah pusaka keris eluk sembilan dapur Panji Sekar.”
“Persetan dengan keris eluk sanga. Tetapi apa maksudmu datang kemari?” potong Wanda Geni. “Seperti kau,” jawab bayangan hitam itu. “Aku mempunyai tugas untuk mengambil kekayaan yang ada di Kademangan ini seluruhnya yang masih tersisa. Aku memang ditugaskan untuk menemuimu dan minta agar kau menghentikan kegiatanmu di Kademangan ini. Kau sudah cukup lama melakukannya. Agaknya telah sampai waktunya untuk memberikan giliran kepadaku atas nama Resi Paji Sekar di Pliridan.”
“Setan alas,” Wanda Geni mengumpat. “Apakah kau belum mengenal aku?”
“Ya, aku kenal kau. Namamu Wanda Geni. Kau adalah utusan dari Panembahan Sekar Jagat. Bu-kankah begitu? Karena itu sebaiknya kau menghadap Panembahan Sekar Jagat dan menyampaikan salam Resi Paji Sekar. Kemudian minta keikhlasan Panembahan Sekar Jagat untuk mengalihkan daerah perampasannya dari Kademangan ini.
“Cukup, cukup. Aku tidak mau mendengar kau mengigau lagi. Sebaiknya kau pergi dan kembali kepada Resi yang gila itu. Katakan, bahwa mimpinya itu akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sekarang, pergilah, aku mempunyai pekerjaan yang penting kali ini. Dan kali ini aku sama sekali tidak sedang mengambil kekayaan apapun di Kademangan ini.”
“O,” suara orang itu menjadi semakin meninggi. “Kau keliru Wanda Geni. Kecantikan adalah kekayaan yang tiada tara harganya. Bukan begitu? Karena itu, sebaiknya kau pergi menghadap Panembahan Sekar Jagat. Sampaikan pesan Resi Panji Sekar. Aku kira Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang cukup bijaksana. Jauh lebih bijaksana daripada kau sendiri.”
“Cukup,” teriak Wanda Geni. “Pergilah. Atau kau mau mati?”
“Kedua-duanya aku tidak ingin. Mati tidak, pergipun tidak.”
Wanda Geni menggeram. “Siapakah namamu?”
“Putut Sabuk Tampar. Juga nama dapur keris eluk sanga.”

“PERSETAN dengan keris eluk sanga. Aku tidak peduli. Jangan kau sebut-sebut lagi. Sekarang pergilah. Pergilah.”
“Tidak. Aku tidak mau pergi.”

Wanda Geni sudah tidak dapat menahan diri lagi. Giginya terdengar gemeretak. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang masih saja duduk di atas dinding itu. “Aku terpaksa membunuhmu.” Orang itu tertawa, Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dikembangkannya tangannya seperti hendak terbang. Dan sesaat kemudian ia meloncat langsung menyerang Wanda Geni yang mendekatinya. Wanda Geni mengelakkan serangan itu. Sebagai seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, ia memiliki bekal dan pengalaman yang cukup untuk bertempur melawan siapapun juga. Dan kini, dengan penuh kemarahan ia berkelahi melawan seseorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Ternyata orang yang menyebut dirinya Sabuk Tampar itu memiliki kelincahan yang luar biasa. Ketika serangannya yang pertama dapat dielakkan, maka segera ia melenting dan mengayunkan kakinya setengah putaran.
Wanda Geni terkejut melihat sikap itu. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka kakinya telah tersentuh kaki lawannya. Tetapi Wanda Geni berhasil meloncat dan sentuhan itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya. Selain membakar kemarahannya yang memang telah meluap-luap. Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang dahsyat. Ternyata Wanda Geni yang tangguh itu kali ini dapat lawan yang lincah dan cekatan. Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Tampar itu, meloncat-loncat seolah-olah sama sekali tidak bergerak-gerak di atas tanah. Tangannya bergerak-gerak dengan cepatnya menyambar lawannya dari segala arah, seperti puluhan burung sikatan yang menarinari mengitarinya.
Tetapi Wanda Geni cukup mampu mempertahankan dirinya. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia selalu berusaha menangkis setiap serangan. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari benturanbenturan yang terjadi, karena ia merasa bahwa ia memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Namun kali ini ternyata lawannya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Selain kelincahannya yang nggegirisi, kekuatannyapun mengejutkan pula, sehingga setiap benturan telah membuat Wanda Geni menyeringai.
Sementara itu, Temunggul dan kawannya seolah-olah berdiri membeku melihat perkelahian yang tidak disangka-sangkanya itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa persoalan itu akan berkembang dengan hadirnya orang baru yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dari Pliridan utusan Resi Panji Sekar.
Dalam keremangan malam mereka melihat Putut Sabuk Tampar bertempur dengan lincahnya. Kadangkadang geraknya sama sekali tidak dapat mereka ikuti. Terlampau cepat dan membingungkan. Namun agaknya bukan saja Temunggul dan kawan-kawannya yang kadang menjadi bingung. Ketiga kawan Wanda Geni itu pun memandang pertempuran itu dengan mulut ternganga. Sekali-kali mereka mendengar Wanda Geni mengumpat, kemudian menggeram dan bahkan kadangkadang orang itu berteriak. Sedang lawannya masih juga sempat tertawa.
“Apakah kau tetap pada pendirianmu?” tiba-tiba terdengar suara Putut Sabuk Tampar. “Persetan,” sahut Wanda Geni yang kini telah memegang sebilah parang ditangannya. “Kau harus mati karena pokalmu itu, maka kepalamu akan aku tanjir di gerbang Kademangan ini, supaya setiap orang yang menjadi utusan orang yang kau sebut bernama Resi Panji Sekar, dapat melihat bahwa nasib merekapun akan serupa dengan nasibmu itu.”
Perkelahian itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Meskipun Wanda Geni telah mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak mampu menguasai lawannya yang bertempur dengan lincahnya. Ayunan senjata Wanda Geni yang berdesing-desing seperti suara ribuan lebah itu, sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya, bahkan pakaiannya yang hitam.
Temunggul dan kawannya masih saja membeku di tempat mereka. Juga ketiga gadis-gadis yang terduduk itupun sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. Betapa ketakutan telah menguasai jantung mereka, sehingga mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan.

TEMUNGGUL yang berdiri tegak itu, masih juga berusaha melihat wajah orang yang baru itu, yang menyebut dirinya berasal dari Pliridan dan bernama Putut Sabuk Tampar. Tetapi dalam keremangan malam, wajah itu seolah-olah hanya sebuah bulatan yang hitam. Bahkan putih matanya pun tidak tampak olehnya.

Ketika terpandang oleh Temunggul wajah Wanda Geni, betapapun samarnya, namun ia masih dapat melihat lekuk-lekuk yang jelas dan bahkan ia masih dapat melihat kumis yang melintang di atas mulutnya.
“Wajah orang itu pasti sengaja dibuat menjadi semakin samar di dalam gelapnya malam,” berkata Temunggul di dalam hatinya.
Tetapi Temunggul tidak begitu berkepentingan dengan wajah itu. Yang lebih penting baginya adalah menghadapi persoalannya yang persoalan Ratri.
“Apakah maksud orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu sesungguhnya?” pertanyaan itu melingkar-lingkar di dalam hatinya.
Ketika ia memperhatikan perkelahian itu, maka kini semakin tampak bahwa Wanda Geni menjadi semakin terdesak meskipun ia bersenjata. Sekali-kali ia meloncat surut. Meskipun kemudian ia maju lagi sambil memutar parangnya, namun tiba-tiba ia harus mundur dan mundur lagi.
Ketika ia berhasil mendesak Putut Sabuk Tampar sehingga orang itu tidak sempat mundur lagi karena tubuhnya telah melekat pada dinding batu di pinggir jalan itu, maka dengan sebuah teriakan nyaring Wanda Geni meloncat sambil menusukkan parangnya, ia tidak mau kehilangan kesempatan yang baik ini. Betapapun juga, seandainya Putut itu akan menangkis dengan tangannya, maka tangannyalah yang pasti akan sobek oleh senjatanya, dan bahkan mungkin tulangnya akan retak dan sebelum ia sempat berbuat banyak, maka serangan berikutnya yang akan mengakhiri pertempuran.
Temunggul yang melihat keadaan itu menjadi cemas. Kalau Putut itu terbunuh, maka ia akan menghadapi persoalan kembali. Ia akan melihat Wanda Geni membawa Ratri untuk suatu perbuatan yang paling mengerikan.
Dalam waktu yang sekejap itu ia mencoba memperbandingkan kedua pihak yang kini sedang bertempur. Wanda Geni, salah seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat telah menyatakan maksudnya yang jelas. Kali ini ia akan membawa Ratri. Sedang orang yang kedua, Putut Sabuk Tampar menurut keterangannya ingin mendesak pengaruh Panembahan Sekar Jagat, dan membuat daerah ini menjadi pemerasan Resi Paji Sekar. Keduanya pasti tidak menyenangkan bagi Kademangan Candi Sari. Tetapi aku harus memperhitungkan keadaan yang aku hadapi sekarang,” desisnya.
Namun sebelum ia sempat menemukan suatu keputusan, ia telah melihat Wanda Geni menghujamkan parangnya.
Hampir saja Temunggul terpekik seperti seorang gadis yang terkejut melihat ulat merambat dikakinya. Namun tiba-tiba hatinya berdesir mendengar suara tertawa yang bernada tinggi itu. Ternyata tusukan parang Wanda Geni tidak mengenai sasarannya. Tusukan parang menghujam masuk ke dalam dinding di sela-sela batu-batu yang tersusun, dekat di sebelah dada Putut Sabuk Tampar. Dalam keremangan malam, dan dalam peristiwa yang berlangsung dengan cepatnya, Temunggul telah kehilangan pengamatan.

TERNYATA bukan saja Temunggul yang menilai keliru dari pertempuran itu. Kawannya dan ketiga kawan Wanda Geni itupun menyangka bahwa perkelahian itu telah sampai pada akhirnya.

Dengan kemarahan yang luar biasa, Wanda Geni mencoba menarik parangnya. Namun dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, Putut Sabuk Tampar meloncat, memukul pergelangan tangan Wanda Geni, sehingga terasa tulang-tulang di sela-sela batu-batu.
Mau tidak mau Wanda Geni harus mengakui bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan sekadar anakanak Candi Sari. Bukan sekadar para pengawal yang baru saja mengadakan keramaian di Kademangan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain daripada menghancurkan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini bersama-sama.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar Wanda Geni berteriak nyaring, “He, marilah cepat-cepat kita selesaikan orang gila ini. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayaninya.” Ketika kawan Wanda Geni itu memang sudah melihat bahwa seorang Wanda Geni tidak akan dapat menyelesaikan lawannya. Karena itu, maka tanpa di ulang lagi, merekapun berloncatan mendekati perkelahian yang menjadi bertambah sengit. Ketiganya langsung melibatkan diri mereka untuk bersamasama menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sekar Tampar.
Agaknya Putut Sabuk Tampar kini harus membuat perhitungan. Seorang lawan seorang ia memang dapat mengalahkan Wanda Geni dengan mudah. Tetapi menghadapi empat orang, ia harus mengerahkan segenap kemampuannya yang ada padanya.
Tiba-tiba saja Putut itu meloncat dan mencabut parang yang masih melekat pada dinding di pinggir jalan. Dengan parang itu ia kini bersiap menghadapi keempat lawan-lawannya.
“Berikan senjatamu,” teriak Wanda Geni kepada salah seorang kawannya.
Sebelum kawannya menjawab, Wanda Geni telah meloncat merebut senjata itu. Kini dengan sebuah golok ditangan bersama dua orang kawannya yang bersenjata golok pula, Wanda Geni menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang seorang kawannya yang lain, yang sama sekali tidak bersenjata memandangi saja perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Perkelahian itu kini menjadi semakin meningkat. Mereka tidak saja saling memukul dengan tangantangan mereka tetapi yang terdengar disela-sela teriakan nyaring adalah dentang senjata beradu. Perkelahian itu ternyata telah membangunkan orang-orang yang tingal sebelah menyebelah jalan. Tetapi sebagian dari mereka justru tidak berani beranjak dari pembaringan. Satu dua orang bahkan telah menimbuni pintu-pintu mereka dengan bermacam-macam barang. Dingklik-dingklik dan peti-peti kayu. Satu dua orang yang agak memiliki keberanian, keluar dari pintu butulan dan mencoba melihat apa yang terjadi. Namun sejenak kemudian mereka pun telah masuk kembali ke dalam rumah-rumah mereka dengan tubuh yang gemetar.
Empat buah senjata saling menyambar di udara. Sekali-kali terdengar senjata-senjata itu berbenturan, dan sekali-kali tampak bunga-bunga api berloncatan.
Temunggul masih saja berdiri dengan kaki bergetar. Bukan oleh ketakutan seperti Ratri dan kedua kawannya, tetapi anak muda itu telah dicengkam oleh ketegangan yang luar biasa.
Namun tiba-tiba Temunggul itu telah disentuh oleh suatu pertimbangan, bahwa dalam keadaan serupa ini ia tidak akan dapat berdiri saja membeku. Kalau Wanda Geni dapat memenangkan perkelahian itu, maka ia akan mengalami perlakuan yang lebih buruuk lagi. Demikian juga agaknya Ratri dan kedua kawannya. Karena itu, ia harus berbuat sesuatu. Ia belum tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Namun pertimbangannya mengatakan kepadanya bahwa ia harus berpihak. Apapun yang nanti akan terjadi.
Dengan nafas yang terengah-engah Temunggul melihat seorang kawan Wanda Geni yang tidak bersenjata itu. Tiba-tiba ia telah terdorong untuk berbuat. Dengan serta merta ia meloncat tanpa raguragu lagi menyerang orang yang berdiri ternganga-nganga melihat perkelahian yang dahsyat itu. ORANG itu terkejut. Hampir-hampir ia tidak sempat mengelak. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menghindarkan dirinya dari serangan Temunggul.

Sudah tentu bahwa orang itu tidak akan tinggal diam. Kemarahannya kepada pemimpin pengawal Kademangan itu terungkat kembali. Sehingga sesaat kemudian mereka pun telah berkelahi pula dengan serunya. Kini Temunggul harus berkelahi seorang melawan seorang. Keduanya tidak bersenjata apapun juga.
Namun agaknya Temunggul yang telah menjadi terlampau lelah, tidak mampu lagi mengimbangi tenaga lawannya. Ia pun segera terdesak meskipun ia masih mampu bertahan.
Agaknya perkelahian itu telah membangunkan kawan Temunggul yang seorang. Dengan serta merta ia ikut pula berkelahi membantu Temunggul, sehingga orang itu harus melawan kedua pengawal itu bersama-sama.
Wanda Geni yang melihat Temunggul ikut pula dalam perkelahian itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Bunuh saja anak-anak gila yang tidak tahu diri itu. Salah seorang dari kalian dapat melakukannya dengan senjata itu. Biarlah kami berdua menghadapi Putut ini.”
Perintah itu pun tidak perlu diulangi. Salah seorang dari kedua kawannya itu pun segara meloncat surut. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar sebuah keluhan tertahan. Kawannya yang seorang, yang masih berkelahi bersama dengan Wanda Geni, terdorong beberapa langkah suruat. Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedangkan tangannya yang lain dengan gemetar memegangi dadanya. Sebuah luka telah merobek dada itu, sehingga darahnya mengalir tidak tertahankan lagi.
Sejenak orang itu terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk.
“Setan alas,” Wanda Geni mengumpat-umpat. Kemudian kepada kawannya yang seorang ia berkata, “Lepaskan dahulu anak-anak itu, kita selesaikan saja orang gila yang telah mencoba mencampuri persoalan kita ini.”
Kawan Wanda Geni yang seorang, yang telah bersiap untuk membinasakan Temunggul dan kawannya, segera meloncat kembali. Ia pun menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu jauh lebih berbahaya dari Temunggul dan kawannya itu. Karena itu, maka yang mula-mula harus dibinasakan adalah Putut yang gila itu.
Kepada seorang kawannya yang berkelahi melawan Temunggul Wanda Geni berkata, “Tahankanlah sebentar. Kami akan segera membinasakan Putut ini. Kemudian datang giliran kedua anak-anak Candi Sari yang malang itu.”
Wanda Genipun kemudian berkelahi dengan sepenuh kemampuannya. Kawannya yang tinggal seorang itu pun telah memeras tenaganya. Keduanya mencoba untuk menyerang Putut Sabuk Tampar dari arah yang berbeda-beda. Namun ternyata Putut itu tidak menjadi bingung. Dengan tanang ia melayani kedua lawannya. Bahkan setiap kali ia berusaha untuk melihat perkelahian antara Temunggul dengan kawannya, melawan seorang kawan dari Wanda Geni. Namun perkelahian itu sama sekali tidak mencemaskannya, karena kawan Wanda Geni yang seorang itu, yang harus berkelahi melawan dua orang pengawal Kademangan, menjadi terdesak pula, meskipun ia masih tetap mampu untuk bertahan. Dalam keadaan yang demikian itulah Putut Sabuk Tampar berusaha menentukan akhir dari pertempuran mereka. Dengan garangnya ia mempercepat serangan-serangannya. Bahkan kemudian seolah-olah sudah tidak terlawan lagi oleh Wanda Geni dan kawannya yang seorang itu.
Akhirnya ketika sudah tidak berpengaruh lagi untuk memenangkan perkelahian itu, Wanda Geni terpaksa mengambil sikap. Baginya lebih baik untuk tetap hidup daripada mati terbunuh. Hidup baginya berarti masih terbuka bermacam-macam kemungkinan. Tetapi apabila ia terbunuh, maka semuanya akan segera terhenti.

Dengan demikian maka akhirnya ia mengambil kesimpulan untuk meninggalkan perkelahian. Betapapun kecewanya, ia terpaksa melepaskan keinginannya untuk membawa Ratri kali ini. Tetapi dengan demikian ia justru mendendam. Keinginannya untuk membawa gadis itu justru semakin mencengkam dadanya.

“Awas kalau lain kali,” ia menggeram di dalam hatinya, “Kali ini kebetulan Putut gila ini ikut mencampuri persoalan kita. Tetapi suatu ketika, aku pasti akan membawamu. Dan nasibmu akan menjadi lebih jelek lagi daripada nasibmu kini, seandainya kau tidak terlampau banyak ribut.”
Keputusan itu agaknya yang telah diambil oleh Wanda Geni. Karena apapun yang akan dilakukannya, sudah pasti bahwa ia bersama kawannya itu, tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Sedang yang seorang lagi, yang berkelahi melawan Temunggulpun, sudah dapat diperhitungkannya pula, bahwa orang itupun tidak akan dapat menang.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengarlah sebuah suitan nyaring dari mulut Wanda Geni. Dan setiap orang yang mendengar suitan itupun segera mengerti maksudnya. Mereka pasti akan segera meninggalkan medan.
Dugaan itu sama sekali tidak salah. Sejenak kemudian Wanda Geni pun segera meloncat surut, disusul oleh kedua kawannya hampir bersamaan, meskipun keduanya berkelahi di arena yang berbeda. Sejenak kemudian, maka ketiganya segera berlari sekencang-kencang dapat mereka lakukan tanpa menghiraukan kawannya yang seorang yang sudah terluka itu.
Melihat ketiga kawannya berlari, maka orang yang terluka itupun mencoba untuk mengikuti mereka. Tetapi ketika ia tertatih-tatih berdiri, maka iapun segera terjatuh lagi.
Temunggul dan kawannya berdiri termangu-mangu. Semula mereka akan mengejar lawannya yang seorang. Tetapi karena mereka melihat orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu tidak beranjak dari tempatnya, maka niat mereka pun di urungkannya. Mereka pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa meskipun seandainya mereka berhasil menyusul ketiga orang yang berlari itu tanpa bantuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.
“Kau tidak usah lari,” terdengar suara Putut itu melengking, “Kau tidak akan dibunuh, asal kau benarbenar menyadari segala macam kesalahanmu. Kau akan dibiarkan hidup, tetapi kau harus bersedia memberikan setiap keterangan yang diperlukan.”
Orang itu tidak menjawab.
“Kenapa kau diam saja?” bentak orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Orang itu masih belum menjawab.
“Bagaimana? Kalau kau tidak bersedia memberikan keterangan apapun tentang Panembahan Sekar Jagat, buat apa kau tetap hidup?”
Masih belum ada jawaban.
Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau begitu baiklah. Kau memang tidak pantas dikasihani. Mungkin memang lebih baik mati bagimu. Tetapi kami sama sekali tidak ingin membunuhmu. Matilah kau karena kau tidak akan dapat bangkit dan meninggalkan tempat itu. Aku akan berpesan, setiap orang yang lewat besok pagi tidak boleh menyentuhmu sebelum kau benar-benar mati. Baru setelah kau mati, kau akan dikuburkan. Sebelumnya kau akan menjadi tontonan anak-anak, bahwa salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat ternyata dapat juga terluka dan bahkan mati.”

“Persetan,” tiba-tiba orang itu menggeram. “Kalau benar-benar kau lakukan itu, berarti Kademangan ini akan kedatangan bencana yang maha besar. Tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan tinggal diam.

Putut Sabuk Tampar mengerutkan keningnya, sedang Temunggul dan kawanya saling berpandangan sesaat.
Namun kemudian terdengar suara tertata Putut Sabuk Tampar dalam nada yang tinggi, “Kau memang senang berbicara yang aneh-aneh. Mati atau tidak mati, Wanda Geni pasti sudah akan banyak berceritera. Tentang kau yang terluka, tentang gadis-gadis yang cantik itu, dan tentang pengawal Kademangan yang sama sekali tidak berani berbuat sesuatu kalau tidak terpaksa oleh kepentingan pribadi. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan marah kepada orang-orang Kademangan ini, sebab orang-orang di Kademangan ini adalah orang-orang yang baik hati, yang dengan suka rela menyerahkan apa saja yang diperlukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Dan kebaikan hati itu pulalah yang mendorong aku datang ke tempat ini, untuk menggeser pengaruh Panembahan Sekar Jagat atas nama Resi panji Sekar.” Putut itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, kau lihat, apakah anak muda yang bernama Temunggul ini berani berbuat sesuatu, kalau ia tidak terdorong oleh pamrih pribadinya, karena ia tidak mau kehilangan Ratri?”
Dada Temunggul berdesir mendengar sindiran itu. Dan Putut itu berbicara terus, kali ini kepada Temunggul, “Apakah kau akan ingkar?”
Temunggul tidak segera dapat menjawab.
“Sekarang, tolonglah gadis-gadis itu dan antarlah mereka segera pulang. Ayah dan ibu mereka pasti telah menunggu.
Temunggul menggigit bibirnya. Sejenak ia membeku ditempatnya.
“Kenapa kau termenung? Bukankah kau telah menyerahkan hidup matimu untuk keselamatanmu? Bukan untuk keselamatan Kademanganmu?” Putut itu berhenti sejenak. “Kau tidak usah ingkar. Kalau kau benar-benar berbuat untuk Kademangan ini, maka kau pasti sudah membuat sesuatu sejak Kademangan ini dijamah oleh Panembahan yang rakus itu. Ternyata kalian sama sekali tidak berbuat apa-apa. Nah, lain kali kamilah yang akan datang Utusan Resi Panji Sekar. Aku akan datang dengan beberapa orang kawanku. Dan aku mengharap suatu ketika aku akan bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.”
Temunggul masih saja membisu, tetapi debar jantungnya serasa menjadi kian cepat. “Kenapa kau diam saja?” bertanya Putut itu. “Cepat, antarkan gadis-gadis itu pulang ke rumah masingmasing. Aku tidak memerlukannya. Yang aku perlukan adalah emas dan permata, yang pada saatnya akan aku ambil. Sekarang, cepat pergi. Temunggul mengantarkan gadis-gadis itu, dan yang seorang membawa orang ini ke Kademangan. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Lukanya agak parah, dan aku akan mengamat-amatimu. Kalau kalian takut akan Panembahan Panji Sekar perlakukan orang itu dengan baik. Meskipun perlakuan yang demikian tidak kau berikan kepada orang-orangmu sendiri.” Temunggul masih juga belum menjawab.
“Cepat,” tiba-tiba Putut itu berteriak dengan suaranya yang tinggi melengking. “Aku akan dapat merubah pendirianku setiap saat. Aku dapat dengan tiba-tiba dirangsang oleh nafsu seperti Wanda Geni apabila aku memandang wajah gadis-gadis itu.”
Dada Temunggul seakan-akan tersentak mendengar kata-kata Putut itu, sehingga kemudian ia berpaling, memandangi gadis-gadis yang masih terduduk lemah di tanah.
“Ayo, bawalah mereka ke rumah masing-masing.”
Temunggul menganggukkan kepalanya. “Baiklah.”
“Hati-hati, meskipun Wanda Geni telah semakin jauh.”
Temunggul tidak menjawab. Perlahan-lahan ia mendekati ketiga gadis-gadis itu sambil berkata, “Marilah aku antar kalian pulang.”
Sejenak gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Mereka hanya saling berpandangan dengan sorot mata yang masih saja dibayangi oleh ketakutan.
“Marilah,” desis Temunggul yang menjadi cemas, kalau tiba-tiba saja Putut Sabuk Tampar itu berubah pendiriannya. Dan jantungnya serasa akan pecah ketika ia mendengar Putut itu berkata, “Ratri memang cantik.”
“Cepat,” desis Temunggul perlahan-lahan.

RATRI pun segera menyadari keadaannya. Karena itu meskipun kakinya masih gemetar, dipaksanya dirinya untuk berdiri bersama-sama kedua kawannya.

“Ayo cepat. Aku sudah mulai dihinggapi penyakit gila yang menjalar dari darah Wanda Geni. Cepat pergi,” Putut itu menggeram.
Temunggul menjadi semakin cemas. Ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk melawan Putut itu, seandainya Putut itu pun menjadi gila seperti Wanda Geni.
“Marilah,” sekali lagi Temunggul berdesis.
Ratri dan kawan-kawannya berusaha untuk tetap berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan sambil berpegangan satu dengan yang lain dengan eratnya.
“Gadis itu jangan kau tinggal lari meskipun kau akan bertemu lagi dengan Wanda Geni, Temunggul,” terdengar Putut itu tertawa. “Bagaimana kalau aku berbuat serupa yang kau lakukan itu, bukan sekadar untuk seorang gadis yang bernama Ratri? Tetapi untuk Kademanganmu?”
Temunggul tidak menjawab, bahkan berpalingpun tidak. Dengan suara yang bergetar ia berbisik, “Cepat. Cepatlah sedikit. Orang itu agaknya tidak kalah gila dari Wanda Geni.”
Ratri dan kedua kawannya pun memaksa diri mereka berjalan lebih cepat lagi, untuk segera menjauhi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.
Namun dada mereka masih juga selalu berdebar-debar apabila mereka kemudian mendengar orang itu tertawa berkepanjangan.
“Kita singgah saja di rumah terdekat,” berkata Temunggul. “Aku antar kalian besok pagi-pagi.” “Tidak,” Ratrilah yang menjawab, meskipun suaranya hampir tidak terdengar. “Aku akan dicekik ayah, kalau aku tidak pulang malam ini.”
“Tetapi kalian berada dalam bahaya,” sahut Temunggul. “Diperjalanan, kita akan mungkin sekali bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu.”
Terasa tengkuk gadis-gadis itu meremang. Tetapi mereka lebih senang apabila mereka segera dapat kumpul di antara keluarga mereka. Apalagi Ratri telah mendapat pesan dari ayahnya, bahwa ia harus segera pulang setelah pertunjukan selesai.
“Tetapi orang-orang yang mengerikan itu?” ingatan itu pun setiap kali selalu mengganggunya. “Bagaimana Ratri,” bertanya Temunggul kemudian.
“Aku akan pulang,” jawab Ratri, “Rumahku sudah dekat.”
“Tetapi sangat berbahaya?”
“Dimana pun bahaya itu akan datang. Kalau aku bermalam di rumah siapapun, orang-orang itu dapat juga mencariku. Karena itu aku merasa lebih aman tinggal bersama ayah dan ibu. Kecuali kalau nanti ayah mengambil keputusan lain.”
Temunggul mengerutkan keningnya. Kemudian ia bergumam, “Baiklah. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Rumahmu memang sudah dekat. Tetapi kita masih harus mengantarkan kedua kawankawanmu itu.”
“Tetapi rumahku lebih dekat.”
“Tidak,” sahut Temunggul. “Kita lewat jalan kecil ini. Aku merasa bahwa jalan ini jauh lebih aman dari jalan yang lebih besar.”
Ratri tidak membantah lagi. Kalau ia memaksa untuk di antar lebih dahulu, maka pasti akan menyinggung perasaan kedua kawan-kawannya, meskipun rumah mereka seolah-olah hanya terpisah oleh dinding batu.

DEMIKIANLAH maka mereka menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah ketiga gadis-gadis itu. Tetapi dengan demikian, maka yang terakhir dari ketiganya sampai di muka regol rumahnya adalah Ratri.

“Terima kasih Temunggul,” desis Ratri ketika ia akan memasuki regol halamannya.
“Aku antar kau sampai ke pendapa Ratri, sampai ayahmu membuka pintu untukmu.” Ratri menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Baiklah Temunggul, aku sangat berterima kasih dan ayahpun akan berterima kasih pula.”
Tetapi ketika Ratri akan melangkah memasuki regol rumahnya Temunggul berkata lambat sekali, seolaholah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Ratri.”
Ratri tertegun. Ketika dilihatnya wajah Temunggul menunduk maka dada gadis itu pun berdesir. “Sebelum aku menyerahkanmu kepada ayahmu, aku ingin berbicara, Ratri.”
Dada Ratri menjadi berdebar-debar. Ia sudah dapat menduga, apa yang kira-kira akan dikatakan oleh Temunggul itu, maka wajahnya segera menjadi kemerah-merahan, dan dadanya menjadi pepat. “Apakah kau ingin mendengarkan Ratri?” bertanya Temunggul.
Ratri menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Temunggul, aku sudah tidak dapat menahan rasa takut dan cemas. Kalau setiap saat orang-orang yang mengerikan itu lewat di jalan ini maka nasibku akan dapat kau bayangkan.”
“Tidak Ratri. Orang itu tidak akan lewat jalan ini. Apalagi ia sudah dikalahkan oleh orang yang