SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

“Orang itu agaknya sedang menunggu air yang mengaliri sawah disebelah pategalan itu. Kalau ia tahu, bahwa kita yang lewat ini adalah hamba-hamba terpercaya dari Panembahan Sekar Jagat, maka orang itu pasti akan lari terbirit-birit."

Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia tertawa. “Aku akan mengatakan kepadanya bahwa aku adalah Wanda Geni, utusan Panembahan Sekar Jagat. Nah, mari kita bertaruh, apa yang akan dilakukan?”
“Ia akan menjadi pucat, menggigil dan ketakutan. Nah, kau akan bertaruh berapa?”
“Kau harus menebak lain,” sahut Wanda Geni. “Aku sudah berpikir demikian. Bahkan ia akan menjadi pingsan.”
“Ah, jangan mau menang sendiri. Aku mengucapkannya lebih dahulu.”
Wanda Geni tidak menyahut. Tetapi ia tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan menebak lain. Orang itu akan menyumpah-nyumpah dan menantang kita berkelahi.”
“Apa taruhannya.”
“Kepala”
“Kepala siapa?” kawannya terkejut.
“Kepala orang itu. Habis, kepala siapa? Kalau aku kalah, akulah yang memenggalnya dan memberikan kepadamu. Tetapi kalau kau yang salah tebak, kau yang akan memenggal dan memberikannya kepadaku.”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. “Baik,” katanya sambil memilin kumis. Tetapi agaknya kawankawannya yang lain hampir tidak menaruh perhatian kepada taruhan yang gila itu.
“Kau tidak ikut bertaruh?” bertanya Wanda Geni.
“Selain kepalanya, tidak ada lagi yang berharga pada orang itu,” jawab salah seorang daripadanya. Sekali lagi Wanda Geni tertawa. Sambi melecut kudanya ia berdesis,
“Aku ingin segera tahu, siapakah orang yang gila itu.”
Semakin dekat mereka dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, semakin jelas pada mereka, bahwa orang itu sedang memperhatikan aliran air pada parit disisi jalan. Sehingga orang itu sama sekali tidak memperhatikan kedatangan Wanda Geni dengan kawan-kawannya.
Orang itu berpaling ketika Wanda Geni dengan kawan-kawannya itu berhenti di belakangnya. “He Ki Sanak,” bertanya Wanda Geni. “Apakah yang kau perhatikan?”
“Air,” jawab orang itu singkat.
“Kenapa dengan air?” bertanya kawan Wanda Geni.
“Air ini tidak mengalir seperti biasanya. Aku menungguinya. Apabila air cukup deras, aku akan mengambil sebagian untuk mengaliri sawahku yang sudah mulai memberi harapan. Tanamanku sudah akan menunjukkan hasilnya. Batang-batang padi itu sudah mulai bunting. Kalau pada suatu saat, tanahnya menjadi kering, maka padi itu kelak akan menjadi gabug. Kosong tidak berisi.” Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “He, lihatlah aku. Apakah kau belum mengenal aku? Berpalinglah.”
Orang itu berpaling. Ditatapnya wajah Wanda Geni dengan heran. Bahkan sambil bertanya, “Kenapa dengan kau?”
Wanda Geni mengerutkan keningnya. “Apakah kau belum mengenal aku?” sekali lagi ia bertanya. Orang itu tidak menyahut. Ditatapnya saja wajah itu tajam-tajam.
“Dengar,” teriak Wanda Geni. Namun kemudian suaranya merendah. Ia berpaling kepada kawannya. Katanya, “Aku akan mengatakan tentang diri kita. Perhatikan siapa yang menang dalam bertaruh kali ini.”
Kawannya yang bertaruh kepala dengan Wanda Geni itu menganggukkan kepalanya. “Baik. Katakanlah.”
“He, dengar Ki Sanak,” berkata Wanda Geni kemudian. Meskipun ia tersenyum, tetapi wajahnya justru semakin menakutkan. “Kalau kau belum mengenal namaku, pandangilah baik-baik wajahku ini. Kemudian dengarlah baik-baik pula. Namaku Wanda Geni. Utusan yang paling dipercaya oleh Panembahan Sekar Jagat.

Orang yang mendengar pengakuan Wanda Geni itu mengerutkan keningnya. Namun sama sekali tidak terduga-duga, bahwa orang itu justru tersenyum. Katanya kemudian, “Senang sekali bertemu dengan kalian.”

Wanda Geni hampir tidak percaya atas matanya sendiri. Seakan-akan ia tiba-tiba saja terlempar ke dalam suatu mimpi. Orang itu sama sekali tidak terkejut, bahkan tersenyum dengan tenangnya. “He, apakah kau tahu arti dari mana Wanda Geni dan Panembahan Sekar Jagat?” bentak Wanda Geni. “Ya, aku tahu sepenuhnya. Kau adalah utusan Panembahan Sekar Jagat yang setiap kali datang ke desadesa untuk merampok harta miliknya. Benar?”
,” Wanda Geni menggeram. Dan tiba-tiba saja tanpa sesadarnya ia bertanya, “Siapakah kau, he? Siapa?” Orang itu mengerutkan dahinya. Dan sekali lagi Wanda Geni dikejutkan oleh jawaban orang itu. “Akulah yang bertanya kepadamu sekarang, apakah kau belum mengenal aku?”
Dada Wanda Geni bergetar dahsyat sekali. Tangannya menjadi gemetar oleh kemarahan yang meluap sampai ke ubun-ubunnya.
“Sebut namamu atau gelarmu atau ciri-ciri pengenalmu yang lain supaya segera aku tahu dengan siapa aku berhadapan.”
“Bahkan kita pernah bertemu? Itulah sebabnya aku tidak menjawab pertanyaanmu, apakah aku mengenalmu? Semula aku memang agak ragu-ragu, karena kita bertemu di malam hari. Tetapi kau sendiri sudah mengaku, bahwa kau bernama Wanda Geni utusan Panembahan Sekar Jagat.” “Cukup,” potong Wanda Geni sambil berteriak. “Sebut namamu. Aku tidak mau mendengar kau sesorah.”
“Baiklah. Namaku Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar dari Pliridan. Kau ingat?” Tiba-tiba wajah Wanda Geni menjadi merah padam. Ketiga kawan-kawannya pun terkejut bukan kepalang, sehingga darah mereka serasa akan berhenti. Dengan demikian, maka sejenak justru mereka membeku ditempatnya, di atas punggung kudanya.
“He, kenapa kalian mematung,” bertanya Sabuk Tampar sambil tersenyum. “Sudah aku katakan, kita bertemu di malam hari. Mungkin saat itu kau tidak dapat mengenal aku dengan baik. Demikian pula aku. Sekarang, marilah kita saling mencamkan wajah kita masing-masing.”
“Persetan,” Wanda Geni ternyata sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia tahu benar bahwa Putut Sabuk Tampar bukanlah sejajar dengan para pengawal Kademangan Candi Sari. Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat mengabaikannya.
Dan tiba-tiba saja Wanda Geni itu berteriak. “Ternyata aku kalah bertaruh kali ini. Akulah yang akan membayar taruhan itu. Sepotong kepala orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.” Wanda Geni tidak menunggu kata-katanya lenyap dari udara. Secepat kilat ia menghentikan kendali kudanya, menerjang Putut Sabuk Tampar yang masih berdiri dengan tenangnya di atas tanggul.

Tetapi ternyata Putut itu benar-benar lincah. Ketika Wanda Geni menyambarnya, bahkan dengan ujung senjatanya yang telah tergenggam di tangan, orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu dengan lincahnya meloncat menghindar. Namun seakan-akan tidak diketahui, bagaimana hal itu dapat terjadi, Putut Sabuk Tampar telah menyerang salah seorang kawan Wanda Geni yang masih duduk terheran-heran.

Serangan yang tidak terduga-duga itu tidak dapat dielakkannya. Kudanya pun sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Namun tiba-tiba saja ia menyadari dirinya yang telah terpelanting jatuh. Demikian kerasnya ia terbanting, sehingga terasa sakit yang amat sangat telah menyengat punggungnya.117 Ternyata tulang belakangnya telah menjadi cidera karenanya. Sehingga dengan demikian, ia sama sekali tidak dapat bangun lagi kecuali berguling sekali dua kali menepi, sambil menyeringai menahan sakit. Namun yang lebih sakit lagi adalah hatinya ketika ia melihat orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu telah berada di punggung kudanya sambil menggenggam senjatanya.
Sejenak kemudian, maka orang yang terbaring sambil menyeringai ditepi jalan itu melihat, orang yang menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar itu telah siap untuk berkelahi. Bahkan tanpa menunggu lagi, ia telah mulai menyerang dengan garangnya di atas punggung kuda.
Wanda Geni menggeram sejanak kemudian terdengar ia berteriak nyaring sambil mengacung-acungkan senjatanya. Serangannyapun segera datang seperti badai.
Dengan demikian, maka segara timbul pertempuran yang dahsyat di antara mereka. Putut Sabuk Tampar harus mengulangi lagi, bertempur melawan tiga orang termasuk Wanda Geni. Namun kini mereka berada di atas punggung kuda, sehingga pertempuran di antara mereka itu berlangsung lebih cepat dan mendebarkan jantung.
Ternyata Putut Sabuk Tampar benar-benar memiliki ilmu yang tangguh. Meskipun ia harus bertempur melawan tiga orang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, namun ia sama sekali tidak terdesak. Bahkan setiap kali ia berhasil mengejutkan lawan-lawannya dengan gerakan-gerakan yang tidak terduga-duga. Dengan tangkasnya ia menguasai kudanya sekaligus menguasai senjata di tangan kanannya. Setiap kali senjata itu menyambar-nyambar hampir tidak dapat terhindarkan lagi. Setelah mereeka bertempur hilir mudik di sepanjang jalan, sawah dan pategalan itu, maka tiba-tiba terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata senjata Sabuk Tampar telah menyambar lengan salah seorang kawan Wanda Geni. Hampir saja ia terpelanting dari kudanya. Namun dengan susah payah ia berhasil memperbaiki keseimbangannya. Namun tangan kanannya seakan-akan telah menjadi lumpuh dan senjatanya pun telah terpelanting jatuh.
Wanda Geni kini masih harus bertahan bersama seorang kawannya. Namun ia sudah merasa, bahwa ia tidak akan mampu melawan orang yang bernama Putut Sabuk Tampar itu. Karena itu, seperti yang pernah dilakukannya, maka jalan yang paling baik adalah melarikan dirinya.
Tetapi ia harus mendapat kesempatan. Semenara kawannya yang terluka itu menjadi semakin lama semakin lemah.
Akhirnya datang juga giliran bagi kawannya yang seorang lagi. Putut Sabuk Tampar sendiri tidak akan dapat menguasai senjatanya seperti yang dikehendakinya karena pengaruh gerak kuda dan gerak lawannya sendiri. Karena itu, ketika ia menjulurkan senjatanya, tiba-tiba saja, senjata itu telah terhunjam ke dalam dada lawannya itu. Ia hanya mendengar pekik yang tinggi, namun kemudian suaranya hilang untuk selama-lamanya.
Saat yang demikian itu, ternyata dapat dimanfaatkan oleh Wanda Geni sebaik-baiknya. Selagi Putut Sabuk Tampar merenungi lawannya yang terbunuh itu, Wanda Geni melarikan kudanya seperti angin meninggalkan gelanggang, di susul oleh seorang kawannya yang terluka pada lengannya dan yang telah menjadi semakin lemah. Tetapi ia masih mampu melarikan diri di atas punggung kuda. Namun yang dua di antara mereka masih tinggal di tempatnya. Yang seorang sudah tidak bernyawa. Sedang yang seorang menyeringai menahan sakit yang hampir tidak tertanggungkan lagi.

Sejenak orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu termenung. Ia memang tidak ingin mengejar Wanda Geni dan kawannya. Dibiarkannya mereka hidup supaya Panembahan Sekar Jagat mendengar apa yang telah terjadi. Ia mengharap bahwa pada suatu saat ia akan hanya sekadar melayani Wanda Geni. Tetapi ia ingin bertemu langsung dengan Panembahan Sekar Jagat. Meskipun demikian ia masih meragukan kemampuan Kademangan Candi Sari. Kalau pada saat yang ditunggu itu datang, sedang orang-orang Candi Sari masih saja tidur nyenyak, maka Kademangan itu memang benar-benar akan tertimpa bencana. Itulah sebabnya ia telah mengambil kebijaksanaan. Melawan Wanda Geni ditengah-tengah bulak di ujung Kademangan itu. Dengan demikian, maka kesalahan yang terbesar tidak akan ditimpakan kepada Kademangan Candi Sari.
Namun dalam pada itu, selagi ia masih termangu-mangu di atas punggung kudanya, orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu mendengar derap seekor kuda. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya seekor kuda berpacu ke arahnya.
Sejenak orang yang bernama Sabuk Tampar itu termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya bibirnya bergerak dan menyebut suatu nama, “Apakah benar itu Ki Tambi? Apakah maksudnya, dan apakah kepentingannya?”
Tetapi Putut Sabuk Tampar ternyata tidak ingin bertemu dengan Ki Tambi yang memacu kudanya. Karena itu maka orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu pun kemudian melarikan kudanya pula. Dengan tergesa-gesa ia memutar kudanya dan membawanya masuk ke pategalan dan hilang dibalik rimbunnya dedaunan. Diselusurinya jalan setapak di tengah-tengah pategalan itu sekadar untuk menghindarkan diri dari orang yang bernama Ki Tambi. Bukan karena tidak berani melawannya dalam perkelahian namun ia merasa bahwa belum saatnya ia berhadapan wajah dengan orang-orang Kademangan Candi Sari, termasuk Ki Tambi.
Ki Tambi sendiri terkejut ketika ia melihat beberapa ekor kuda tersebar di tengah jalan. Segera ia mengetahui, bahwa telah terjadi perkelahian di antara mereka. Ketika ia melihat apa yang terjadi di kejauhan, perkelahian agaknya sudah selesai, dan dua orang di antara mereka melarikan diri. Tetapi yang paling mengejutkan, bahwa salah seorang dari mereka agaknya telah dikenalnya. Dengan dahi yang berkerut marut, sambil memacu kudanya ia menebak-nebak. Dan bahkan kadang-kadang ia berteka-teki dengan diri sendiri. “Benarkah?”
Tetapi orang itu seakan-akan telah melarikan diri melihat kehadirannya. Namun justru dengan demikian dugaannya menjadi semakin kuat. Orang itu memang pernah dikenalnya.
Ketika Ki Tambi sampai ke tempat perkelahian itu, ia tinggal melihat seorang yang telah mati terbunuh dan yang seorang lagi masih merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan mendekati orang yang sedang terluka itu.
“Apakah yang terjadi?” ia bertanya, “Dan siapakah kau?”
Orang yang terluka itu menahan perasaan sakit dipunggungnya sambil memejamkan matanya. Perlahanlahan terdengar ia berdesis, “Punggungku. Mungkin tulang punggungku patah ketika aku terjatuh dari kuda tanpa dapat menempatkan diri. Dorongan tangannya ternyata terlampau kuat, dan aku terpelanting.”
“Dorongan tangan siapa yang kau maksud?” bertanya Tambi.
“Putut Sabuk Tampar.”
“Siapakah Putut Sabuk Tampar itu.”
“Ia baru saja pergi membawa kudaku.”
Tambi mengerutkan keningnya. Kini ia berjongkok dekat-dekat dari orang yang terluka itu. “Siapa kau?” Orang itu berpikir sejenak. Tiba-tiba tumbuh niat untuk mendapat pertolongan karena pengaruh nama Panembahan Sekar Jagat. Maka jawabnya, “Aku adalah utusan Panembahan Sekar Jagat.” “O,” Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi kau bertemu dengan lawan lamamu. Bukankah kau pernah bertemu dengan Putut Sabuk Tampar pada suatu malam ketika seorang yang bernama Wanda Geni ingin merampas seorang gadis dari Kademangan Candi Sari? Nah apakah pada malam itu kau ikut serta pula bersamanya.”

“Ya, ya. Aku ikut serta bersama mereka. Kawanku yang terbunuh itu pun ikut pula. Sedang kawanku yang lain, yang terluka, tetapi masih sempat melarikan dirinya adalah salah seorang dari kami yang terluka pada waktu itu.”

“O,” Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia diam merenung, apakah yang sebaiknya dilakukannya.”
Perlahan-lahan ia berdiri. Dilihatnya pula orang yang terbunuh. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali-kali ia mendengar orang yang terluka itu mengeluh. Kadang-kadang ia mengatupkan giginya rapat-rapat. Agaknya punggungnya benar-benar telah patah.
“Marilah,” berkata Tambi. “Ikut aku ke Kademangan Candi Sari.”
“Apakah yang akan kalian lakukan atasku?” bertanya orang itu.
“Jangan bertanya tentang hal-hal yang dapat membuat kau ragu-ragu. Sebaiknya lukamu diobati. Apa yang akan terjadi kemudian, jangan kau pikirkan sekarang.”
Orang itu tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menilai keadaan betapapun lukanya menyengatnyengat. Dan tiba-tiba ia berdesis, “He, bukankah kau orang Kademangan Candir Sari?” “Ya,” jawab Ki Tambi.
“Jangan main-main. Ingat, aku adalah seorang utusan Panembahan Sekar Jagat.”
“Kenapa?”
“Kalau kau tidak berbuat bijaksana, maka Kademangan itu akan hancur menjadi abu. Kau mengerti? Bukankah setiap orang di Kademangan itu takut terhadap kami, utusan Panembahan Sekar Jagat?” “Ah,” desah Tambi. “Kau tidak usah menakuti aku. Kau sekarang sedang terluka parah oleh seseorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Bukankah orang yang menamakan dirinya Putut Sabuk Tampar itu datang dari Pliridan dan mengaku sebagai utusan Panji Sekar? Resi Panji Sekar?” “Ya, tetapi kau tidak dapat berbuat lain daripada berbuat sebaik-baiknya terhadap aku supaya Kademanganmu diselamatkan dari kemarahan Panembahan Sekar Jagat.” orang itu berhenti sejenak. Wajahnya kian menjadi pucat oleh penderitaan yang amat sangat karena luka pada tulang punggungnya itu.
“Ah, kau telah salah sangka. Aku adalah orang baru di Kademangan Candi Sari, meskipun aku dahulu tinggal di Kademangan itu pula. Dengarlah, aku tidak senang kalian berbuat serupa itu atas Kademangan kami, meskipun aku menyadari arti dari nama Panembahan Sekar Jagat. Sekarang aku dapat saja berbuat apa saja atas nama Putut Sabuk Tampar, karena kawan-kawanmu yang melarikan diri itu hanya mengetahui, bahwa kalian telah berkelahi dengan Putut itu. Kalau sekarang misalnya aku mencekikmu sampai mati pun, Panembahan Sekar Jagat akan menyangka, bahwa kau dibunuh oleh orang yang menyebut diri Putut Sabuk Tampar itu. Kau mengerti?”
Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Dan tiba-tiba suaranya menjadi kian gemetar pula, “Jangan. Jangan kau bunuh aku.”
“Kenapa?”
“Aku masih ingin hidup. Aku masih terlampau muda untuk mati. Aku belum pernah menghayati hidup yang sebenarnya.”
Tambi tertawa. Katanya, “Kau sudah terlampau lemah. Betapapun tinggi ilmumu, dan betapapun kerdilnya orang-orang Kademangan Candi Sari, namun membunuh orang yang tidak berdaya seperti kau ini, adalah pekerjaan yang paling mudah.”
“Tetapi jangan bunuh aku.”
Tetapi Tambi seolah-olah tidak mendengar permintaan itu. Bahkan ia melihat sebuah golok, maka golok itu segera dipungutnya.
“Sebenarnya aku ingin membawa kau ke Candi Sari. Mengobati kau kemudian melepaskannya, karena kau adalah salah seorang utusan Panembahan Sekar Jagat yang sering mengambil upeti ke Kademangan kami. Tetapi karena kau telah mengancam kami, maka sebaiknya kau dimusnahkan. Habislah jejak yang akan dapat kau buat-buat untuk mencelakai Kademangan kami.”
“Jangan. Jangan. Aku tidak akan mengancam kau lagi.”

“Sekarang kau berkata begitu, tetapi lain kali kau akan berkata lain pula apabila kau sudah sehat dan berkesempatan untuk kembali ke indukmu.”

“O,” Tambi tertawa. “Apakah artinya sumpah bagi kau? Bagi orang yang telah berani merampok dan melanggar hak orang lain? Akhir yang paling baik bagimu memang tidak ada lain daripada mati.” Wajah orang itu menjadi semakin putih seperti kapas. Mulutnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata pun yang masih dapat diucapkannya.
Perlahan-lahan Tambi mendekatinya. Ujung golok ditangannya itu pun kemudian diacungkan tepat ke leher orang yang sudah tidak berdaya itu.
“Nah, apakah kau ingin meninggalkan pesan.”
“Ampun, ampun,” rintihnya, “Kau tidak akan membunuh orang yang tidak berdaya.” “Kau tidak pernah memikirkan, apakah orang yang kau rampok harta miliknya itu memiliki kemampuan untuk melawan atau justru mereka adalah orang-orang yang tidak berdaya sama sekali. Bahkan sekali dua kali Wanda Geni dan mungkin juga kau, telah memukul orang-orang yang tidak berdaya dan tidak melawan itu. Kini kau pun tidak akan bersandar kepada sifat-sifat kesatria seperti yang kau katakan. Aku memang bukan kesatria. Aku adalah orang yang paling licik dimuka bumi. Nah, apa katamu.” “Ampun, aku minta ampun.”
Ki Tambi tertawa. Wajah itu sudah benar-benar seputih kapas. Bibirnya menjadi biru, dan sakit di punggungnya bahkan sudah tidak terasa lagi.
“Hem,” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Begitulah kira-kira apabila perasaan takut sedang mencengkam jantung. Aku ingin sekali-sekali kau pernah merasakannya. Aku senang melihat kau ketakutan. Apakah kau tahu maksudku?”
Orang itu tidak menyahut.
“Begitulah perasaan orang-orang Candi Sari setiap kali kau dan Wanda Geni itu datang. Hatinya dicengkam oleh rasa takut hampir tidak tertanggungkan. Dan kau melihat ketakutan itu sambil tertawa. Dan sebaiknya kau pun pernah merasakannya juga.”
Orang itu masih tetap berdiam diri. Dadanya masih juga berdebar-debar dan jantungnya bergelora. Namun kemudian ia sempat menarik nafas panjang-panjang.
“Aku tidak bersungguh-sungguh akan membunuhmu. Aku hanya ingin kau merasakan perasaan takut itu. Sekarang marilah, kau aku bawa ke Kademangan Candi Sari,” Ki Tambi berhenti sejenak, “Sebenarnya aku ingin mengikuti kalian dan langsung bertemu dengan Panembahan Sekar Jagat. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Mungkin ia pernah mengenalnya.”
“Apakah yang akan kau tunjukkan itu?”
“Niat itu untuk sementara aku urungkan. Apalagi sekarang. Aku kira Panembahan Sekar Jagat sedang marah setelah mendengar laporan Wanda Geni. Kedatanganku tidak akan menguntungkan.” “Ya, tetapi apa yang kau tunjukkan”
“Marilah, ikut aku ke Candi Sari. Kalau orang-orang Candi Sari terpaksa membunuhmu, bukan salahku. Tetapi mereka adalah pengecut seperti kau. Mereka tidak akan berani melakukannya, apabila mereka ketahui bahwa kau adalah orang Panembahan Sekar Jagat.”
Orang itu tidak menjawab. Dan Ki Tambi berkata selanjutnya. “Mungkin kau menganggap bahwa aku termasuk salah satu benih yang dapat menaburkan rintangan. Mungkin apabila kau sembuh kelak, kau akan membawa Panembahan Sekar Jagat untuk membunuhku. Tetapi itu adalah akibat yang wajar. Dan aku masih tetap ingin menunjukkan sesuatu kepada Panembahan Sekar Jagat.”
“Aku ingin tahu, apakah yang akan kau tunjukkan?”
Ki Tambi berpikir sejenak. Kemudian diambilnya lencana yang selalu disimpannya di dalam kantong ikat pinggang kulitnya.
Orang yang terbaring ditanah itu terbelalak melihat lencana yang diperlihatkan oleh Ki Tambi. Dan tibatiba saja ia bertanya, “Apakah kau termasuk salah seorang dari Panggiring itu?”

“He,” Ki Tambi pun terkejut. “Kau sudah mengetahui arti lencana semacam ini?”
“Aku pernah melihatnya. Seseorang telah menyerahkan lencana itu kepada Panembahan Sekar Jagat,” orang itu berhenti sejenak. Tiba-tiba sakit di punggungnya menggigitnya lagi. Sejenak ia menyeringai sambil mengeluh, “Aduh punggungku.”
Tambi mengerutkan keningnya. Katanya, “Marilah naik ke kuda itu. Aku bawa kau ke Candi Sari.” “Aku tidak dapat bangkit, apalagi naik kuda.”

Tambi berpikir sejenak, kemudian katanya, “Marilah naik bersama aku. Kau ceriterakan seterusnya tentang lencana yang sudah kau ketahui itu.”
Orang itu tidak menjawab. Namun ketika Ki Tambi mencoba menolongnya ia mengeluh pendek, “Sakit sekali.”
“Tetapi itu lebih dari pada kau mati di pinggir jalan ini seperti kawanmu itu,” sahut Ki Tambi. “Aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak dapat mengurus mayat kawanmu. Aku tidak mempunyai waktu. Kalau kau sudah sampai ke Kademangan, mungkin aku akan kembali kemari bersama satu dua orang untuk menguburnya.”
Orang itu tidak menyahut. Ditahannya perasaan yang biasa ketika Tambi mengangkatnya, dan meletakkannya di atas punggung kudanya, sehingga kemudian kuda itu dinaikinya bersama. “Untunglah, kudaku adalah kuda yang luar biasa. Tetapi kasihan juga. Agaknya kita berdua terlampau berat baginya.”
Meskipun demikian kuda itu berlari juga menunju Kademangan Candi Sari.
Namun setiap kali orang yang terluka itu selalu menyeringai menahan sakit. Setiap goncangan karena langkah kudanya, orang itu mengeluh pendek. Tetapi di tahannya, untuk tidak berteriak lebih keras. “Aku masih tetap ingin mendengar keteranganmu, tentang lencana itu,” Ki Tambi bertanya, “Apakah kau mengetahui artinya?”
Orang itu berdesis. Terputus-putus ia menjawab. “Ya. Seseorang telah datang kepada Panembahan Sekar Jagat dengan membawa lencana itu.”
“Apa maksudnya?”
“Untuk memperkenalkan lencana itu kepada Panembahan Sekar Jagat, bahwa lencana itu adalah pertanda dari segerombolan orang-orang yang berada di bawah pengaruh atau perlindungan seseorang yang bernama Panggiring.”
“Kau tahu siapa Panggiring itu?”
Orang itu menggeleng. “Aku tidak tahu. Tetapi menurut pendengaranku, Panggiring adalah seorang yang berasal dari Candi Sari.”
“Apakah maksud orang itu hanya sekadar memperkenalkan diri? Dan apakah orang yang datang itu sendiri yang bernama Panggiring?”
“Bukan, bukan Panggiring. Dan orang itu membawa pesan, bahwa sebaiknya Panembahan Sekar Jagat melepaskan kebiasaannya untuk memeras orang-orang Candi Sari.”
Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ternyata Panggiring masih tetap dipengaruhi oleh kecintaannya kepada kampung halaman. Namun sesaat Ki Tambi termenung. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya. Panggiring sendirilah yang akan memeras Kademangan ini sampai kering

Tiba -tiba Ki Tambi teringat kepada orang yang menyingkir pada saat ia datang ke tempat orang-orang Sekar Jagat itu terbaring. Orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar dari Pliridan untuk mengambil alih daerah Candi Sari dari tangan Panembahan Sekar Jagat. “Apakah ada hubungan antara Putut Sabuk Tampar dengan pesan Panggiring untuk Sekar Jagat,” pertanyaan itu tumbuh di dalam dadanya. “Hubungan yang terjalin antara kakak dan adik untuk tujuan itu, meskipun mereka tampaknya berbeda bentuk?"

Tetapi Ki Tambi itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak berani mengambil kesimpulan. Semuanya seperti tersaput kabut yang hitam baginya. Gelap. Apalagi kesan yang didapatnya tentang adik Panggiring yang agaknya tidak begitu suka kepada kakaknya itu.
Dan tanpa sesadarnya Ki Tambi itu bertanya, “Bagaimanakah tanggapan Panembahan Sekar Jagat atas pesan Panggiring itu?”
“Panembahan Sekar Jagat menjadi sangat marah. Utusan Panggiring itu diusirnya. Pesan yang harus disampaikan kepada Panggiring adalah, bahwa Panembahan Sekar Jagat tidak akan meninggalkan daerah kuasanya, seperti Panembahan Sekar Jagat marah ketika ia mendengar Wanda Geni tentang seorang yang menyebut dirinya Putut Sambuk Tampar yang mengaku dirinya utusan Resi Panji Sekar.” Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kuda mereka berlari terus meskipun tidak begitu cepat, menunju ke Kademangan Candi Sari.
“Kapan hal itu terjadi?” bertanya Ki Tambi kemudian.
“Kira-kira lebih dari dua bulan yang lampau. Ternyata Panggiring juga tidak berbuat apa-apa untuk seterusnya. Bahkan tidak berani memenuhi tantangan Panembahan Panji Sekar untuk saling bertemu. Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Mustahil,” ia berkata di dalam hatinya. “Mustahil kalau Panggiring tidak berani memenuhi tantangan Panembahan Sekar Jagat.” Tetapi Ki Tambi tidak bertanya lagi. Selanjutnya yang terdengar selain derap kaki kuda adalah desah orang yang terluka di punggung kuda Ki Tambi itu.
Ketika mereka telah semakin dekat dengan Kademangan, Ki Tambi terkejut, karena mereka berpapasan dengan seekor kuda tanpa penunggang. Apalagi ketika dengan serta merta orang yang terluka itu berkata, “Itu kudaku, kudaku yang direbut oleh Putut Sabuk Tampar.”
Ki Tambi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak memberikan kesan getar di dalam dadanya. Bahkan ia bertanya, “Kenapa kuda itu dapat sampai ditempat ini?”
“Entahlah. Mungkin Putut Sabuk Tampar melepaskannya.”
Tambi tidak menjawab lagi. Tetapi ia ingin melihat, apakah dugaannya tentang Putut Sabuk Tampar itu benar. Sepintas ia telah melihat orangnya. Dan orang itu dari kejauhan memberikan kesan, bahwa ia memang pernah melihatnya.
Demikianlah ketika kuda itu lewat disebelah rumah Bramanti, Ki Tambi menarik kekangnya sehingga kuda itu berhenti.
“Jangan mencoba lari kalau kau tidak ingin mati di jalan,” desis Ki Tambi. “Kudaku adalah kuda yang baik. Ia akan tetap diam ditempatnya kalau kau tidak mengejutkannya.”
Ki Tambi pun kemudian meloncat turun. Tergesa-gesa ia masuk ke halaman rumah Bramanti. Tetapi alangkah terkejutnya orang itu ketika ia melihat Bramanti duduk dengan asyiknya sambil menganyam keranjang dibawah pohon sawo.
Bramanti segera berdiri ketika ia melihat Ki Tambi datang. Dan dengan tergesa-gesa menyongsongnya sambil bertanya, “Darimana paman? Agaknya paman baru saja menempuh perjalanan berkuda.” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab pertanyaan Bramanti, namun ia justru bertanya, “Darimana kau Bramanti?”
“Aku tidak pergi kemana pun paman. Aku sedang menganyam keranjang.”
“Sejak Wanda Geni masuk ke Kademangan ini.”
“O, ketika itu aku bersembunyi dibalik perigi dibelakang rumah.”
“Hanya di belakang rumah?”
“Tidak paman. Aku kemudian merasa tidak aman. Aku pun kemudian pergi ke sungai.” “Sendiri?”

“Ya, sendiri. Sebenarnya aku akan pergi bersama Panjang, tetapi aku terlalu tergesa-gesa, sehingga aku meninggalkan Panjang justru di dalam halaman ini. Setelah orang-orang Wanda Geni pergi, Panjang yang kemudian pergi ke bendungan singgah pula kemari. Tetapi sayang, aku tidak bertemu, karena aku masih ada di sungai. Kini ia pergi ke Kademangan. Ia tidak mempunyai waktu untuk menunggu aku di rumah ini.”

Ki Tambi memandang Bramanti dengan tatapan mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Ibumu dimana?”
“Di dalam paman. Ibu sedang ada di dapur.”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak.
“Kenapa paman memandang aku demikian?” bertanya Bramanti kemudian, “Apakah ada sesuatu yang aneh?”
Tiba-tiba dada Ki Tambi berdesir. Seperti hendak menerkam lawannya ia meloncat menyambar tangan Bramanti. Tetapi Bramanti sama sekali tidak berbuat apapun juga. Dibiarkannya tangannya dicengkam oleh Ki Tambi dan diangkatnya tinggi.
“Kenapa dengan tanganku paman?”
Ki Tambi itu pun kemudian tersenyum. Seolah-olah ia telah menemukan apa yang selama ini dicarinya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku Bramanti. Ternyata kau kurang teliti membersih