SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.
00001.jpgGambar Kulit: Herry Wibowo b.a
SerialBersambungDiambilDariSitusKedaulatanRakyat(www.kr.co.id) (07-08-2001- 02-06-2002)

AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di atas halaman yang luas itu.

Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya. Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekali-kali ia menggeliat sambil menekan punggungnya.

Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di keningnya.

 

"Hem," perempuan itu berdesah.

 

"Kalau saja mereka masih ada di rumah ini." perempuan itu kini berdiri tegak. Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di atas kepalanya.

Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara. Rumah besar yang kotor dan rusak. Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.

"Hem," sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah yang berat perempuan itu melangkah masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.

Perlahan-lahan ia berjongkok di depan perapian. Sebuah belanga berisi air terpanggang di atas api. Satu-satu dimasukannya batang-batang kayu bakar yang kering ke dalam lidah api yang menjilat-jilat. "Kalau anak-anak itu ada di rumah," sekali lagi ia berdesah. Seleret kenangan meloncat ke masa lampaunya. Kepada anak-anaknya. Dua orang anak laki-laki. Tetapi keduanya tidak ada disampingnya. Tetapi perempuan tua itu mencoba menerima nasibnya dengan tabah. Kesulitan demi kesulitan, penderitaan demi penderitaan lahir dan batin telah dilampauinya. Namun seolah-olah seperti sumber air yang tidak kering-keringnya. Terus menerus datang silih berganti.

"Hukuman yang tidak ada habisnya," desahnya. Namun kemudian ia mencoba menempatkan dirinya untuk menerima segalanya dengan ikhlas.

 

"Semua adalah akibat dari kesalahanku sendiri."

 

Perempuan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Perlahan-lahan ia berdesis. "Apakah mereka datang lagi?"

 

Ia bangkit berdiri ketika langkah-langkah itu semakin banyak berderap di jalan dimuka regol halaman bahkan ada di antaranya yang meloncat memotong melintasi halaman rumahnya.

"Tidak ada gunanya mereka berlari-lari," gumam perempuan tua itu sambil melangkah ke pintu. Ketika kepalanya menjenguk keluar, dilihatnya beberapa orang yang terakhir melintas di bawah pohon-pohon liar dihalaman rumahnya. Sejenak kemudian perempuan tua itu mendengar derap beberapa ekor kuda mendatang. Semakin lama semakin dekat.

"Mereka benar-benar datang," desisnya. Dan perempuan itu benar-benar melihat orang berkuda melintas cepat di jalan di muka rumahnya. Cepat-cepat perempuan tua itu menutup pintu rumahnya. Sambil menahan nafasnya ia bergumam.

"Apalagi yang akan mereka lakukan di kademangan ini?" Dan ia tidak berani membayangkan, apa saja yang telah dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.

 

Sementara itu, orang-orang berkuda itupun telah memasuki beberapa buah rumah sambil berteriakteriak kasar. Seorang yang berkumis lebat dengan sebuah parang di tangan berteriak-teriak.

 

"Ayo serahkan permintaanku sebulan yang lalu."

 

Orang berkumis lebat itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

 

“Jangan sembunyi,” teriaknya.

 

Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.

 

“Buka pintunya,” ia berteriak lagi. “Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat.”

 

Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan kepalanya dengan tangan gemetar. “Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba bersembunyi ya?”

 

“Tidak,” jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi.”

 

“Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini.”

 

“Aku berada dibelakang.”

 

“Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu.”

 

Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.

 

“Ayo jangan banyak tingkah.”

 

“Tetapi, tetapi,” suaranya tergagap. “Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada Ki Demang yang akan membawanya ke Pajang bersama upeti yang lain.”

“Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Pajang, Demak atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Pajang dan Mataram menjadi semakin tajam. Kedua pasukan berhadapan di daerah Prambanan. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah menyerahkan apapun lagi kepada Ki Demang, sebab ia tidak akan menyerahkannya kepada Sultan Hadiwijaya yang sedang sibuk berkelahi melawan puteranya sendiri itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang lain. Misalnya memungut pajak.”

Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkumis itu telah berdiri didepannya. Ketika sekali tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.

 

“Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu,” berkata orang berkumis itu.

 

Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, “Tetapi, tetapi, semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Ki Demang.”

 

Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkumis itu telah menarik leher bajunya.

 

“Apa kau bilang? Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami? Kepada Panembahan Sekar Jagat?”

“Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya yang telah berkerut. “Ampun, ampun,” teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua itu terbanting jatuh terlentang.

“Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Wanda Geni, utusan terpercaya Panembahan Sekar Jagat mengerti?”

 

Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada terhingga.

 

“Cepat,” teriak orang yang menamakan dirinya Wanda Geni.

 

“Tetapi..........,” sekali lagi suaranya terpotong. Kini bukan saja ujung parang orang berkumis itu telah menyentuh dadanya. “Apakah kau masih akan berkeberatan.”

 

Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan suara gemetar ia menjawab. “Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada padaku.”

 

“Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh pintu rumah.”

Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Wanda Geni. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang tua itu terpaksa menyerahkan sebuah pendok emas yang selama ini disimpannya baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit daripada kepada pendok emas itu.

“Ini adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga,” berkata orang tua itu.

Wanda Geni tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusur atas. Katanya, “Kau sangka aku dapat mempercayaimu? Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau menyimpan pula pendok emas yang lain, yang justru kau tretes dengan intan dan berlian. Kemudian sebuah timang emas bermata berlian pula? Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang melarat disekitar ini dengan segala macam cara? Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Kademangan ini. Orang-orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini.”

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat Wanda Geni itu marah.

 

“Baiklah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah cukup dengan pendok emas ini.”

 

Laki-laki tua itu tidak menyahut. Kedipan matanya sajalah yang seolah-olah berteriak menyuruh orangorang itu pergi segera dari rumahnya.

 

"Jangan terlampau kikir." kata Wanda Geni kemudian.

 

"Semua harta bendamu itu tidak akan dapat kau bawa mati. Bukankah umurmu sudah menjelang enampuluh lima tahun."

 

Laki-laki tua itu mengangguk.

 

"Nah, seharusnya kau sudah tidak memikirkan harta benda lagi. Kau buang sajalah semua kekayaanmu, supaya tidak membuat jalanmu menjadi gelap."

Sekali lagi Wanda Geni tertawa. Kemudian direbutnya pendok yang masih dipegang oleh laki-laki tua itu. Dengan suara menggelegar Wanda Geni kemudian berkata. "Baik-baiklah di rumah. Aku minta diri." Tanpa menunggu jawaban, orang berkumis itu segera melangkah keluar, turun kehalaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya.

Sejenak kemudian terdengarlah ledakan cambuk disusul dengan derap kuda menjauh. Tetapi kuda-kuda itu akan segera berhenti lagi, memasuki halaman rumah yang lain dan memeras penghuni-penghuninya sambil menakut-nakutinya dengan ujung parangnya.

Sepeninggal orang-orang berkuda itu, barulah istri laki-laki tua yang kehilangan pendoknya bersama anak gadisnya berani keluar dari persembunyiannya. Dengan tubuh gemetar mereka bertanya, apa saja yang telah dibawa oleh orang- orang berkuda itu.

"Syukurlah," berkata isterinya. "Kalau hanya sebuah pendok, kita akan merelakannya. Seribu kali rela." "Huh," potong laki-laki tua itu. "Aku menabung sejak aku masih muda."

 

"Tetapi masih ada yang lain yang tinggal di rumah ini," berkata isterinya.

 

"Lihat, kelak mereka akan kembali dan kembali lagi. Semua kekayaan kita akan dikurasnya sampai habis."

 

"Tetapi itu lebih baik daripada nyawa kita yang diambilnya."

 

Laki-laki tua itu menarik nafas dalam. "Tetapi ini tidak dapat berlangsung terus menerus," geramnya. "Lalu, apakah yang dapat kita lakukan? Apakah kita akan mengungsi saja?"

"Tidak ada tempat lagi di kolong langit ini. Orang-orang besar saling berebut kekuasaan, maka kita kehilangan perlindungan. Orang-orang yang merasa dirinya kuat, berbuat sewenang-wenang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat."

Laki-laki itu berhenti sejenak, lalu, "Sepanjang umurku baru sejak Pajang menjadi kisruh itulah aku mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Kalau keadaan tidak segera menjadi baik, maka akan timbul pula ditempat lain orang-orang serupa itu, yang dapat saja menyebut dirinya Ajang Sekar Langit, atau Kiai Ageng Sekar Langit atau apa saja."
Istri dan anak gadisnya tidak menyahut. Namun ketakutan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Dengan suara tertahan-tahan isterinya berkata sekali lagi, "Kita mengungsi dari tempat ini. Kita mencari tempat yang paling aman. Kita akan dapat hidup tentram meskipun tidak sebaik ditempat ini."

"Sudah aku katakan, tidak ada tempat yang baik saat di Bumi Pajang telah menjadi panas. Sebentar lagi Pajang akan meledak, dan Mataram akan menjadi bara yang terlampau panas. Semua tempat akan mengalami gangguan serupa. Tidak ada seorang prajuritpun yang sempat melindungi rakyatnya dari gangguan orang-orang gila macam Panembahan Sekar Jagat itu."

Isterinya tidak segera menyahut. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimanakah bentuk harapan suaminya itu. Karena itu, maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya sambil memeluk anaknya.

 

"Sudahlah nyai," berkata laki-laki tua itu.

"Sementara ini kita tidak akan diganggu lagi, sampai saatnya iblis itu datang dibulan depan. Aku kira mereka akan memerlukan sesuatu lagi dari padaku dan orang-orang lain yang dianggapnya cukup di Kademangan ini. Sekarang beristirahatlah. Berlakulah seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Setidak-tidaknya untuk sebulan mendatang."

Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama anaknya mereka pergi ke ruang belakang.

 

Di serambi belakang beberapa orang pembantu dan pelayan, menggigil ketakutan tanpa dapat berbuat sesuatu.

Demikianlah maka sepanjang hari itu, Wanda Geni memasuki beberapa rumah untuk mengambil apa saja yang dianggapnya berharga. Setelah kerja itu dianggapnya selesai, maka kuda-kuda mereka pun segera berderap pergi meninggalkan desa itu di dalam ketakutan dan kecemasan. Sepeninggal orangorang berkuda itu, beberapa orang laki-laki yang bersembunyi bertebaran di gerumbul-gerumbul liar, saling bermunculan. Dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah-rumah masing-masing. Mereka ingin segera tahu, apakah rumah-rumah mereka pun telah didatangi pula oleh Wanda Geni. Terutama yang merasa mempunyai simpanan sesuatu di dalam rumahnya.

Ketika orang-orang berkuda itu berpacu lewat dimuka regol rumah tua, tempat perempuan tua itu tinggal, terdengar salah seorang dari mereka sempat berteriak. "He Nyai Pruwita, kenapa kau tidak menyambut kedatangan kami?"

Perempuan tua, penghuni rumah yang kotor dan rusak, yang dipanggil Nyai Pruwita, menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berani keluar dari rumahnya, meskipun ia tahu bahwa orang-orang berkuda itu tidak akan memasuki rumahnya karena tidak ada sesuatu yang akan dapat mereka ambil. Meskipun demikian, berita yang didengarnya sedikit-sedikit tentang orang-orang berkuda itu telah membuatnya menjadi ngeri.

"Sebenarnya lebih baik bagiku untuk tidak melihat apa saja yang terjadi di Kademangan ini," desisnya.

Tetapi perempuan tua itu tidak dapat pergi dari rumahnya. Apapun yang terjadi di desa itu, apapun yang dialaminya, baik yang ditimbulkan oleh ketakutannya tentang orang-orang berkuda, maupun sikap orang-orang Kademangan itu sendiri tidak terlampau baik kepadanya, juga betapapun rumahnya telah menjadi onggokan kayu bakar yang tidak berarti, ia akan tetap tinggal di rumah itu.
Di halaman yang luas itu. Karena rumah itu adalah rumah peninggalan.

Tanah yang didiaminya itu adalah Tanah Warisan.

 

"Aku ingin mati di dalam rumah ini," desisnya setiap kali.

 

"Meskipun seandainya aku akan tertimbun oleh atapnya yang roboh karena hujan atau angin."

Panggilan orang-orang berkuda itu ternyata telah menumbuhkan kebanggaannya kepada orang yang bernama Pruwita. Seorang laki-laki tampan, tegap dan berani. Tetapi laki-laki itu telah mati. Laki-laki itu di masa hidupnya adalah suaminya. Kemudian dikenangnya kedua anaknya laki-laki. Kedua anaknya telah pergi meninggalkannya ketika mereka masih terlampau muda. Bahkan masih kanak-kanak. Tanpa diketahuinya kemana mereka itu pergi.

Kini, ia hidup sendiri menunggui sebuah halaman yang luas di rumah yang besar. Namun keadannya tidak lagi seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Rumah itu sudah tidak lagi memancarkan sesuatu, selain wajah perempuan tua yang cekung dan dalam. Tetapi meskipun perempuan yang bernama Nyai Pruwita itu, seakan-akan hidup terpisah dari orang-orang disekitarnya, namun ia dapat merasakan kegelisahan yang sangat telah membakar Kademangannya.

Orang-orang yang paling penting, yang dianggapnya paling kuat diseluruh Kademangan, tidak berdaya untuk melindungi rakyatnya dari sentuhan jari-jari orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.

Demikianlah perempuan tua yang bernama Nyai Pruwita itu hidup terasing di dalam masyarakat yang sedang dibayangi oleh ketakutan, kengerian dan kecemasan. Sehingga dengan demikian, maka terasa hidupnya menjadi semakin sepi. Rumahnya yang besar dan halamannya yang luas menjadi semakin lama semakin suram. Tetapi tanah itu tidak akan ditinggalkannya, sampai maut merabanya.

Tanah warisan itu akan ditungguinya sampai akhir hayatnya.

 

"Kalau saja, anak-anak itu ingat kembali kepada Tanah ini," katanya setiap kali di dalam hatinya.

 

"Mereka pasti akan datang. Mudah-mudahan umurku masih sempat melihat salah seorang atau bahkan kedua-duanya kembali ke rumah ini."

 

Dan setiap kali perempuan itu berdoa sambil menyesali segala kesalahan yang pernah dilakukannya.

 

Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang dipimpin oleh Wanda Geni telah menjadi semakin jauh dari Kademangan yang telah dijadikan korbannya. Kademangan Candi Sari.

Dengan gembira mereka kembali kepada pimpinan tertinggi mereka yang menyebut dirinya Panembahan Sekar langit, karena mereka merasa bahwa perjalanan mereka kali ini cukup memberi harapan untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih besar lagi dari Panembahan Sekar Jagat.

Dengan demikian, maka mereka tidak menaruh perhatian sama sekali ketika mereka melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang sawah di pinggir jalan yang mereka lalui.

Hanya sekali Wanda Geni melihat seorang anak muda dengan pakaian yang kusut, memandang orangorang berkuda itu dengan penuh keheranan. Selebihnya, anak muda itu tidak menarik sama sekali. Namun sebaliknya, orang-orang berkuda itulah yang telah menarik perhatian anak muda itu. Berbagai macam pertanyaan telah menyentuh dinding hatinya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat sesuatu selain memandanginya sampai hilang di belakang debu putih yang mengepul dari bawah kaki-kaki kuda mereka.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya langit yang telah menjadi kemerah-merahan. Matahari telah menjadi semakin rendah di arah barat.

 

"Kademangan itu hampir tidak berubah," desisnya.

 

TANPA sesadarnya anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam lagi. "Pohon preh itu adalah pohon kira-kira sepuluh tahun yang lampau."

Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk.Kemudian kakinya yang kotor oleh debu, mulai bergerakgerak terayun selangkah mendekati padukuhan induk Kademangan Candi Sari. Tetapi anak muda itu tidak segera masuk ke dalam pedukuhan itu. Sejenak ia masih dibayangi oleh keragu-raguan.

Karena itu, maka kemudian, sambil beristirahat ia ingin melihat, apakah ia masih berhak untuk memasuki desa itu kembali. Perlahan-lahan diletakkannya dirinya, duduk di bawah pohon preh disimpang tiga, beberapa patok dari desa yang terbentang dihadapannya. Diikutinya setiap gerak yang tertangkap oleh matanya. Anak-anak yang berlari sambil membawa binatang yang baru saja digembalakannya. Orang-orang tua yang pulang dari sawah, dan anak-anak muda yang kembali, setelah mereka bersembunyi digubug-gubug dipategalan mereka.

Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat seorang gadis lewat beberapa langkah didepannya sambil menjinjing sebuah wakul. Agaknya ia baru pulang dari sawahnya, memetik lembayung. Sekilas anak muda itu merasa bahwa ia pernah mengenal gadis itu. Tentu saja semasa kanak-kanak. Hampir sepuluh tahun yang lampau. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berdiri dan melangkah mengikutinya. Dan hampir tanpa sesadarnya pula ia memanggil. "Ratri."

Gadis itu terkejut, sehingga langkahnya pun terhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang anak muda berdiri tegak dibelakangnya. Sejenak gadis yang bernama Ratri itu berdiri dengan tegangnya. Ia tidak segera dapat mengenal, siapakah yang telah memanggilnya itu. "Kau tentu saja tidak mengenal aku lagi bukan Ratri?," bertanya anak muda itu.

Ratri mencoba mengingat-ingat. Namun akhirnya bibirnya yang tipis itu bergerak menyebut sebuah nama, "Panggiring."

Tetapi sekali lagi Ratri terkejut ketika ia melihat wajah itu benar-benar berkerut-kerut. Bahkan tampaklah bahwa anak muda itu menjadi kecewa. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, "Bukan Ratri. Aku bukan Panggiring anak setan itu."

"Oh," Ratri menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, "Jadi kau, adiknya. Bramanti."

 

Kepala anak muda itu terangguk lemah. Terdengar suaranya parau. "Ya, aku Bramanti."

 

"Aku hampir tidak dapat mengenalmu lagi Bramanti," berkata Ratri sambil melangkah mendekat.

"Kau sudah sedemikian besar dan gagah. Kemanakah kau selama ini? Kau dan kakakmu Panggiring telah hilang dari Pedukuhan kami lebih dari sepuluh tahun yang lampau. Wajahmu benar-benar mirip dengan wajah kakakmu. Dimana kita masih kanak-kanak, tidak terlampau sulit membedakan, yang manakah Panggiring dan yang manakah Bramanti, karena umurmu terpaut agak banyak dari kakakmu. Tetapi wajah itu sukar dibedakan kini."

"Apakah kau pernah melihat Panggiring akhir-akhir ini?" bertanya Bramanti.

 

Ratri menggeleng, "Tidak. Tetapi menurut bayangan angan-anganku, wajahnya tidak terpaut banyak dengan wajahmu. Apalagi kau tampak jauh lebih tua dari umurmu".

 

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Aku bekerja berat selama ini. Tetapi bukankah Panggiring pergi jauh lebih dahulu dari kepergianku."

Ratri mengingat-ingat sebentar. Jawabannya kemudian. "Ya. Aku ingat sekarang. Panggiring memang pergi lebih dahulu dari padamu. Waktu itu aku masih terlampau kecil. Karena itulah maka aku tidak begitu ingat lagi akan wajah itu. Tetapi wajah itu benar-benar seperti wajahmu sekarang. Bahkan semasa kecil wajahmu itu tidak seperti wajahmu kini."

Bramanti menjadi semakin tunduk. Terbayang sekilas di rongga matanya wajah kakaknya, Panggiring yang kini sama sekali tidak diharapkannya untuk bertemu lagi.

 

“Dan sekarang,” terdengar suara Ratri, “Apakah kau akan pulang ke rumah yang sudah kira-kira sepuluh tahun kau tinggalkan itu?”

 

Bramanti mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya, aku akan pulang ke rumah itu. Ibuku masih ada di dalam rumah itu.”

 

Namun tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya, “Bukankah ibuku masih ada di rumah itu?”

 

Ratri mengangguk. Jawabnya, “Ya, ibumu masih tinggal di rumah itu.”

 

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu pasti sudah menjadi tua.”

 

“Seperti kau Bramanti. Ibumu tampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.”

 

“Aku dapat membayangkan. Betapa berat beban hidupnya. Sementara sumber penghasilannya sudah habis sama sekali.”

 

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kedatanganmu pasti akan menjadi obat keprihatinannya selama ini.”

 

“Ya, aku mengharap demikian.”

 

“Tentu, sudah tentu,” potong Ratri.

 

Tetapi yang Ratri masih akan berbicara terus itu tertegun. Didengarnya seorang memanggilnya, “Ratri, he apa yang sedang kau lakukan?”

Barulah gadis itu sadar, bahwa ia bukan Ratri yang dahulu. Yang masih pantas bermain berkejaran dengan Bramanti. Dan Bramanti itu pun bukan Bramanti yang dahulu pula. Ia kini seorang anak muda yang sudah dewasa. Karena itu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Maaf Bramanti. Aku dipanggil ayah.”
“Ayahmu datang ke mari Ratri.”

“Oh,” Ratri mengangkat wajahnya memandang ke ayahnya yang dengan tergesa-gesa mendekatinya. “Dengan siapa kau berbicara he?,” bertanya ayahnya.

 

“Anak yang sudah lama hilang dari permainan dipadukuhan kami ayah. Kini ia kembali.”

 

“Siapa,” orang tua itu mencobanya mengamat-amati wajah Bramanti, tetapi ia tidak segera dapat mengenalnya. “Aku tidak mengenal anak ini.”

 

“Tentu ayah mengenalnya. Tetapi agaknya ayah tidak punya waktu untuk mengenal wajah anak-anak waktu itu. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

 

“Oh, sepuluh tahan yang lalu.”

 

“Ya ayah. Inilah Bramanti putera paman Pruwita".

 

“He?” orang tua itu mundur selangkah. “Jadi kau anak Pruwita?”

 

“Ya paman,” sahut anak muda yang bernama Bramanti itu.

 

“Oh, anak Pruwita sudah sebesar kau ini?”

 

“Ya paman,” anak muda itu mengangguk pula.

Bramanti menjadi heran ketika wajah orang tua itu semakin tegang. Tiba-tiba ia meraih tangan anak perempuannya dan menariknya sambil berkata. “Marilah. Jangan berhubungan lagi dengan anak muda itu,” Lalu kepada Bramanti ia berkata, “Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Pruwita.”

“Ayah,” potong Ratri, “Kenapa dengan ayah?”

 

Tetapi orang tua itu menarik tangan Ratri, “Marilah. Marilah.”

 

Ratri tidak dapat membantah lagi. Sambil berlari-lari ia mengikuti langkah ayahnya, karena tangannya masih juga ditarik oleh ayahnya itu.

Bramanti berdiri kebingungan. Kenapa ayah Ratri itu bersikap demikian terhadapnya? Anak muda itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti akan sikap itu. Dicobanya untuk mengenang, apa saja yang pernah dilakukan oleh ayahnya di masa kecilnya. “Ayah memang bukan seorang yang terlampau baik,” katanya di dalam hati.

“Tetapi ia dahulu seorang yang kaya, seorang yang disegani, diluluti oleh tetangga. Namun ketika ayah menjadi miskin, serentak mereka menjauhkan dirinya. Dan bahkan ayah harus mati dalam keadaan yang paling menyedihkan.”

Bramanti menggeram. Diangkatnya wajahnya. Dengan sorot mata yang berapi-api ia memandang padukuhan yang terbentang dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin kabur, karena cahaya matahari menjadi semakin suram dan bahkan kemudian menjadi merah kehitam-hitaman. “Aku akan pulang. Apapun yang akan terjadi,” geramnya.

Tiba-tiba langkahnya justru menjadi tegap. Dadanya tengadah dan matanya memandang lurus ke depan. Dengan tidak menghiraukan apapun lagi ia berjalan kemulut lorong desanya. Satu dua ia masih bertemu dengan orang-orang yang terlambat pulang dari sawah. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya. Orang-orang itu pada umumnya sudah tidak dapat mengenalnya lagi. Tetapi langkahnya kemudian tertegun pula ketika ia sudah berdiri diregol halaman rumahnya yang rusak.

Terasa sesuatu menyangkut dikerongkongannya. Rumah ini seolah-olah telah menjadi rumah hantu. Gelap dan mengerikan.

 

Halamannya pun sudah tidak ubahnya lagi dengan sebuah hutan kecil yang pekat dengan berbagai macam pepohonan liar.

 

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

 

Kemudian dipaksanya kakinya melangkah memasuki halaman yang kotor ini.

Yang pertama-tama disentuhnya, adalah sarang labah-labah yang menyangut diwajahnya. Perlahanlahan Bramanti melangkah menunju ke tangga pendapa. Pendapa itu masih juga berdiri, diatas tiang yang kokoh kuat. Saka guru yang hampir sepemeluk besarnya, kemudian tiang-tiang yang lain masih juga tampak kuat. Tetapi ketika ia menengadah, maka atap rumah itu sudah dipenuhi oleh lubanglubang sebesar kelapa.

"Selama ini ibu tinggal seorang diri di rumah ini," desisnya. Apabila ketika diingatnya sikap ayah Ratri terhadapnya. Maka desisnya, "Apakah demikian pula sikapnya terhadap ibu?"

Pertanyaan itu telah mendorongnya semakin cepat menaiki tangga